Nyai Kedasih merasakan hidup di dua jaman, yaitu masa kolonial Belanda dan masa penjajahan Jepang. Ia begitu terkagum dengan trem di kota Batavia. Dari benda yang dianggapnya ajaib ini, ia berjumpa dengan laki-laki Belanda yang bermata biru, yang juga seorang insinyur mesin kereta api. Baginya, Tuan Heidel ini tak seperti laki-laki lain yang hanya melihat dirinya dengan mata yang nakal. Mata birunya begitu tulus, penuh dengan perhatian. Ketika Jepang datang, suaminya membantu KNIL mempertahankan Pulau Jawa. Selama perang berlangsung, mereka hanya berhubungan lewat surat. Hingga sampai suatu waktu tak ada lagi surat datang dari Heidel. Apakah Suaminya ini akan kembali? Dengan begitu sedih, Kedasih berjanji untuk terus menunggunya.