Cerita-cerita yang dikumpulkan dalam Pada Suatu Hari Nanti didasarkan pada berbagai sumber, lisan maupun tulis. Sumber yang dipakai umumnya sudah dikenal luas dan memiliki sejenis pakem. Dongeng dari pakem bisa berupa lisan atau tulisan, atau yang dalam perkembangannya telah melalui proses ulang-alik lisan-tulisan. Ini merupakan kumpulan dongeng carangan “cabang, ranting” yang pada dasarnya merupakan tanggapan atas pakem yang sudah ada dengan memelintir dongeng-dongeng itu—terutama yang menyangkut penokohan dan alur.
Kumpulan kedua, Malam Wabah, berisi dongeng-dongeng yang boleh dikatakan merupakan tulisan “asli”, meskipun kategorisasi asli dan bukan asli selalu saja merupakan masalah. Dalam kumpulan cerita ini, orang dan benda yang berkeliaran di sekitar kita dibiarkan saja berbicara mengungkapkan diri mereka sendiri: ada narapidana, sepatu, daun, gadis kecil, rumah, lelaki tua, dan sebagainya. Masing-masing memiliki kehidupan sendiri; penulis sekadar menyediakan bahasa yang kira-kira sesuai untuk mereka.
TENTANG PENULIS
Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga Indonesia terkemuka. Ia lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Ia dikenal dari berbagai puisi yang menggunakan kata-kata sederhana, sehingga beberapa di antaranya sangat populer.
Sajak-sajak SDD, begitu ia sering dijuluki, telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa daerah. Ia tidak saja menulis puisi, namun juga cerita pendek. Selain itu, ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, menulis esei, serta menulis sejumlah kolom/artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Beberapa puisinya sangat populer dan banyak orang yang mengenalinya, seperti Aku Ingin, Hujan Bulan Juni, Pada Suatu Hari Nanti, Akulah si Telaga, dan Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari. Kepopuleran puisi-puisi ini sebagian disebabkan musikalisasi terhadapnya. Yang terkenal terutama adalah oleh Reda Gaudiamo dan Tatyana (tergabung dalam duet "Dua Ibu"). Ananda Sukarlan pada tahun 2007 juga melakukan interpretasi atas beberapa karya SDD.