Ketersediaan | : | Stock tidak tersedia |
Format | : | Soft Cover |
ISBN | : | 6021265122 |
ISBN13 | : | 9786021265123 |
Tanggal Terbit | : | November 2015 |
Bahasa | : | Indonesia |
Penerbit | : | Bisnis Indonesia [CDS] |
Halaman | : | 411 |
Dimensi | : | 150 mm x 230 mm |
Konspirasi politik dengan perusahaan-perusahaan besar menjadi semakin kuat dengan kucuran dana yang tidak tanggung-tanggung besarnya dan didukung oleh tokoh-tokoh nomor satu dunia pemegang kebijakan politik dan bisnis, pencederaan atas hak privasi warga negara menjadi semakin tak terhindarkan. Di saat seperti inilah orang seperti Edward Snowden, yang meski badannya tirus,dengan nyali seorang whistleblower memegang peran yang amat penting. Bukan hanya bagi ranyat sipil AS tetapi seluruh dunia.
Dengan latar belakang keluarga yang berasal dari militer AS, pada diri Snowden tertanam rasa patriotisme yang tinggi terhadap negaranya. Snowden bukanlah tipe orang yang suka menjual negaranya demi kepentingan pribadi. Namun, begitu ia mengetahui kejahatan pemerintah yang mengganggu hak-hak privasi online warga negara, ia pada akhirnya memutuskan untuk menjadi seorang whistleblower. NSA bersama rekanan intelijennya GCHQ dari Inggris, NSA menjadi “biang sadap” yang kelewat batas.
Publik tidak ada yang tahu.Snowden dengan patriotisme dan keyakinan yang tinggi akan kebenaran idealismenya, ingin sekali mengubah keadaan ini. Dokumen “Top Secret” yang pernah dipegangnya semasa menjadi staf di CIA dan NSA ia kumpulkan untuk kemudian ia bocorkan. Rasa gundah seperti ini yang pada akhirnya membawa Snowden berhubungan dengan para wartawan darisurat kabar Inggris The Guardian.
Lalu apa alasan Snowden membocorkan dokumen itu? ternyata Snowden membaca istilah penting yang digunakan oleh penyusun undang-undang dan filsuf abad ke-18 Inggris, Jeremy Bentham, yaitu “panopticon”. Istilah tersebut menggambarkan lingkar penjara yang amat ketat di mana penjaganya bisa mengawasi tahanan kapan saja tanpa mereka sadar sedang diawasi dari kejauhan. Snowden tidak ingin dunia tempat dia hidup seperti yang ada dalam analogi itu. ini tergambar jelas dalam kalimat yang pernah diungkapkannya.
‘I don’t want to live in a world where everything that I say, everything I do, everyone I talk to, every expression of creativity or love or friendship is recorded ...’
Akibat sikap nekadnya itu, hidupnya jadi terancam. Ia menjadi buronan negeri Paman Sam. Namun, ketulusan menjadi seorang whistleblower memberikan banyak dukungan dari banyak pihak. Ia berhasil lolos dari kejaran Paman Sam dan mendapat suaka di Rusia. Kisah Snowden, si lelaki tirus, menjadi teladan bagaimana seharusnya hak-hak privasi dan kemanan, juga pertahanan negara diperlakukan secara seimbang. Kritik ini diarahkan pada si Paman Sam yang telah mencederai komitmennya terhadap hak asasi manusia. Betapa nistanya perbuatan negara-negara yang mengklaim diri sebagai kiblat demokrasi, tapi dengan tega mencederai kebebasan pers dan memata-matai warga negaranya sendiri, dan menyadap pembicaraan para pemimpin negara.
Lalu kenapa kita harus membaca buku ini, berikut alasannya: