Miskin, tersisih, dan terpinggirkan adalah tiga kata yang selalu menjadi perhatian Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (1929-1999). Hampir sepanjang hidupnya, rohaniwan yang budayawan ini menenggelamkan diri un tuk menghibur, membantu, dan menjadi teman bagi yang tersisih dan ter pinggirkan. Begitu pula dalam novela ini, karya sastra yang pertama kali dibukukan pada tahun 1985. Balada Becak adalah tentang mereka yang ada di pinggiran. Dan kehidupan mereka sangat penuh warna, ceria, dengan sindiran halus ke sanubari pembacanya.
Langit barat menjelang senja merah jingga dengan awan-awan berpelisir renda emas. Jalan raya penuh orang pulang dari pekerjaan. Mereka bagaikan bayangan-bayangan wayang menyiluet pada latar langit kencana indah seolah-olah bergegas ingin masuk kahyangan. Salah satu siluet itu adalah becak Yusuf, yang kini, lain dari pagi tadi, cukup berat menanjak mengangkut Bu Dul dan Riri, pulang ke kandang.... (hal 54)
Akhirnya semua buah gori sudah ditata kembali meninggi dalam becak. Lihat, ha ha ha, Bu Dullah ditolong oleh pembantupembantunya menaiki gunung gorinya dan duduk dipuncaknya seperti hahaha, patung Dwarapala, di tengah komentar-komentar macammacam dari anak-anak. Ya, memang begitulah beliau, ya begitulah. Tak ambil pusing komentar seluruh dunia. Yang penting, bertugas efisien. Yusuf tenang melangkang di atas sadel, sedangkan Riri luwes naik ke atas selebor belakang yang tanpa boncengan itu. (hal. 20)