Cerita fiksi ini terinspirasi kisah nyata si Aku, cucu seorang eksil dari Tiongkok yang beranak-pinak di Madja, Banten, dan buyut pemilik penggilingan padi di Indramayu. Dengan latar belakang itu, hidup Aku bisa disebut nyeleneh: penulis cerpen sejak sekolah menengah umum, bandar gelap judi hwa hwee, dan wartawan harian Indonesia Raya, salah satu surat kabar terkemuka di Indonesia pada zamannya. Si Aku akhirnya juga berhasil menyunting Hr, putri Jawa, setelah keduanya sepakat meleburkan batas-batas sosial etnis dan keyakinan masa itu.
Berlatar Djakarta dan Bogor pada 1950-1970an, Secangkir Teh Melati membuat kita bisa melihat lebih dekat dua kota itu dan potret kehidupan suatu keluarga Tionghoa dari kaca mata seorang anak yang gemar keluyuran dan menghindari kata “taat”. Membaca buku ini kita bisa ikut merasakan serunya bermain layang-layang, gundu, karet, atau sekadar menonton pertunjukan mobil promosi, sambil menikmati es krim dan roti terkenal masa itu. Dari suasana antre bioskop-bioskop favorit di Jakarta yang masih penuh kepinding di kursi, toko-toko buku yang dikelola dengan penuh kecintaan pada buku, hingga pemilihan umum pertama tahun 1955 dan ASIAN Games di Jakarta tahun 1962, semua diceritakan dengan lancar lewat tokoh Aku yang akrab bergaul dengan Soe Hok Gie dan kawan-kawan Roxy-nya, dengan menteri dan para tokoh pers serta seniman Balai Budaya, Jakarta.