HUMANISME yang historis, itulah tafsiran dan terjemahan konkret P. Swantoro
ter ha dap visi humanisme-transendental Harian Kompas. P. Swantoro memang
menulis tentang manusia, tetapi manusia itu tak pernah bisa dimengerti tanpa
sejarah bang sa nya. Maka, ia meletakkan manusia dalam horizon yang amat luas,
horizon seja rah. Bila ia menulis tentang perjuangan, keberhasilan, maupun tragedi
dan kemalangan manusia di Kamboja, Vietnam, Iran, Irak, Kurdi, Afganistan, Mesir,
Kanada, Amerika, Inggris, dan sebagainya, ia selalu melacaknya dengan mundur
ke belakang, meletakkan nasib manusia itu dalam sejarah bangsanya.
Begitu turun pesawat di lapangan Peking 19 Maret 1978, “(Perdana Menteri Cina)
Chou En-Lai memelukku dengan hangat. Dan ternyata seluruh anggota Korps
Diplo ma tik pun dihadirkan. Kata Chou En-Lai: Anda tetap Kepala Negara satusatunya.
Kami tidak akan mengakui yang lain.” Begitulah Sihanouk mengisahkan
detik-detik peng gulingannya sebagai Kepala Negara Kamboja.
(“Pangeran Sihanouk dan Perjuangan Kamboja”)
Para anggota delegasi terdiam. Mereka tidak bisa memberi jawaban. Tapi Zhou
punya jawaban sendiri: “Saya akan memberi penjelasan kepada Anda. Ia meninggal
karena sedih. Ia meninggal karena patah-hati. Dan itu adalah kesalahan Uni
Soviet. Mereka menipunya. Mereka mendorongnya ke suatu situasi, dan meninggalkannya.
Mereka membiarkan hatinya hancur….”
(“Nasser, Nehru, Zhou, Tiga Negarawan Bersahabat”)
Ia tidak hanya mengemukakan pengamatannya, tetapi ia pun memberikan
nasehat nya: “Dilalah karso Allah, begjo begjané kang lali, luwih begjo, kang éling
lan was podo” – “Tetapi sudah menjadi kehendak Tuhan, betapa beruntung pun
orang yang lupa, lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada.”
(“Ronggowarsito, Pujangga Keraton Surakarta)