Kumpulan Budak Setan muncul dari ketertarikan yang sama atas karya-karya Abdullah Harahap. Eka, Intan dan Ugo pun sepakat melakukan pembacaan ulang terhadap Abdullah Harahap dan memulai proyek menulis sebuah kumpulan cerita horor. Nama Abdullah Harahap sebenarnya tak pernah menjadi bagian dari kanon sastra Indonesia. Ia menulis novel horor "picisan," diramu dengan seks di tahun 1970-1980-an. Novel-novelnya biasa ditemukan di toko buku kecil, pasar loak, atau stasiun kereta.
Maka jadilah, dua belas cerpen di dalam buku ini mengolah tema-tema khas Abdullah Harahap---balas dendam, seks, pembunuhan---serta motif-motif berupa setan, arwah penasaran, obyek gaib (jimat, topeng, susuk), dan manusia jadi-jadian.
Kupejamkan kembali mataku dan kubayangkan apa yang dilakukannya di balik punggungku. Mungkin ia berbaring telentang? Mungkin ia sedang memandangiku? Aku merasakan sehembus napas menerpa punggungku. Akhirnya aku berbisik pelan, hingga kupingku pun nyaris tak mendengar:
"Ina Mia?"
("Riwayat Kesendirian", Eka Kurniawan)
Jilbabnya putih kusam, membingkai wajahnya yang tertutup bedak putih murahan ?lebih mirip terigu menggumpal tersapu air? dan gincu merah tak rata serupa darah yang baru dihapus. Orang kampung tak yakin apakah mereka sedang melihat bibir yang tersenyum atau meringis kesakitan.
("Goyang Penasaran", Intan Paramaditha)
"Duluan mana ayam atau telur," gumam Moko pelan. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Laki-laki yang ia cekal tak tahu harus bilang apa, tengadah dan menatap ngeri pada pisau berkilat di tangannya. Moko tak menunggu laki-laki itu bersuara, menancapkan pisaunya cepat ke arah leher mangsanya. Sekali. Sekali lagi. Lagi. Darah di mana-mana.
("Hidung Iblis", Ugoran Prasad)
Eka Kurniawan lahir di sebuah desa, dua jam dari Tasikmalaya, 28 November 1975 dan tinggal di sana dengan keempat kakek-neneknya. Desa itulah yang menjadi pijakan awal O Anjing. Beberapa bahan lainnya diperoleh dari tempat lain: ia mengikuti orangtuanya tinggal di perkebunan karet di Cilacap, sebelum mereka pindah lagi ke kota kecil Pangandaran.Di kota itulah, tepatnya ketika masuk SMPN 1 Pangandaran, keinginan untuk menulis pertama kali muncul. Barangkali didorong oleh perkenalannya dengan buku bacaan yang disewakan oleh taman bacaan yang berkeliling dengan sepeda. Puisi pertamanya muncul di majalah anak-anak Sahabat. Ia juga menulis cerpen-cerpen lucu untuk dibaca teman-temannya. Sekolahnya dilanjutkan ke SMAN 1 Tasikmalaya dan tinggal bersama bibinya. Di sana ia lebih banyak di perpustakaan sekolah, menulis di rumah (ayahnya menghadiahinya mesin tik portable karena berhasil meraih lima besar lulusan terbaik) hingga kemudian ia merasa bosan. Ia memulai perjalanan selama berminggu-minggu melintasi kota-kota hingga Jakarta, kemudian berbelok ke timur melewati Cirebon, Tegal, dan Purwokerto. Ketika ia kembali, sekolah telah mengeluarkannya. Ia kembali ke Pangandaran dan masuk SMA PGRI, satu-satunya sekolah yang mau menerimanya tanpa harus mengulang kelas. Selama empat semester ia berhasil mempertahankan ranking pertama tanpa kehilangan kegemarannya untuk membolos; ia suka menjelajahi daerah-daerah sekitar. Tempat favoritnya adalah rawa-rawa Segara Anakan (tempat ...