"Dengan penuh semangat dan keberanian, Pak Tjong mempertaruhkan nyawa demi mendukung perjuangan para gerilyawan di Yogyakarta. Kami sungguh menghormati beliau sebagai pejuang kemerdekaan…." Tjong Kie Lin telah menempuh beribu-ribu kilometer di sepanjang alur hidupnya, sejak balita hingga akhir, saat ajal menjemput. Langkah pertama kaki mungilnya dia awali dari pelosok Desa Fu Yim Tong, Kabupaten Moiyen, Provinsi Guangdong, Tiongkok. Lalu, ketika bocah, ke Desa Xian Lo Fu, sebelum akhirnya berujung di Kota Yogyakarta, Indonesia. Betapa itu lawatan yang sangat panjang, begitu jauh, penuh liku dan debu, sarat hempasan gelombang samudra dan tamparan angin kencang yang amat menjerihkan. Dengan gagah berani dan deras berkeringat sedari remaja, rute ke selatan itu dia tapaki, seberangi, jelajahi, dan akrabi. Akhirnya, di kota Yogyakarta itulah dia mencanangkan untuk menghimpun sebuah keluarga, utamanya membesarkan anak-anak. Kota terakhir yang dia singgahi itu juga menjadi wadah terbaik untuk mencari nafkah dan menjaring rezeki, melalui sebuah toko yang dia miliki dan kelola sebagai sumber penghidupan. Di tengah segala keriuhan hidupnya, Tjong Kie Lin tetap ingat bumi tempat dia berpijak, mencari rezeki, menghimpun keluarga, dan merangkul sahabat pun saudara. Dengan tulus ikhlas dia turut memberikan sumbangsihnya manakala Yogyakarta, kota yang dicintainya, tengah berjuang menghadapi penjajah yang ingin menguasainya, mencederainya. Bukan dengan memanggul senjata, tetapi dengan dukungan bagi perjuangan para pemuda pembela bangsa. Dalam senyap dan tanpa jemawa, dia sediakan bagian rumahnya untuk mereka, terutama yang terluka. Di Yogyakarta, tak salah lagi, kehidupan Keluarga Tjong menemukan akarnya.
Lahir di Yogyakarta, 28 Mei 1958. Selepas dari SMAk Kolese de Britto tahun 1977, Herry melanjutkan pendidikan di IKIP Sanata Dharma dan lulus sebagai sarjana Pendidikan dan Satra Inggris tahun 1982. Ia sempat menjadi guru bahasa inggris selama setahun si SMAK Stella Duce, Yogyakarta. Bungsu dari tujuh bersaudara ini kemudian hijrah ke jakarta dan bekerja sebagai editor penerbitan buku PT Gaya Favorit Press (Femina Group) hingga 1990. Selanjutnya, ia bergabung menjadi wartawan tabloid Nova selama dua tahun, hingga 1992. Lalu sejak tahun 1993 sampai sekarang, ia mencurahkan perhatinnya ke dunia anak-anak dengan menjadi redaksi majalah Bobo. Di celah-celah kesibukkan menulis buku, Herry tetap berusaha menulis rupa-rupa artikel, juga cerita pendek di sejumlah koran, tabloid, dan majalah yang terbit di Ibukota maupun daerah. Penulis yang (memang) bertubuh subur ini punya semboyan hidup yang unik: daripada mencelakakan orang lain, lebih baik menertawakan kekonyolan sendiri.