Sejak berusia enam tahun, ada begitu banyak pertanyaan yang tumpang-tindih di kepalaku. Mengapa orang-orang kerap bersikap manis kepada mereka yang dianggap berkedudukan dan kaya, tapi bersikap dingin kepada mereka yang berpakaian lusuh dan tak punya apa-apa? Mengapa banyak pemuka agama yang menyebarkan kebencian kepada golongan yang berbeda, padahal mereka pula yang menyuarakan bahwa agama adalah perwujudan kasih kepada sesama? Mengapa manusia suka sekali mengotakkan sesamanya ke dalam label tertentu: si Hitam, si Putih, si Miskin, si Kaya, si Pandai, si Bodoh, si Jawa, atau si Tionghoa? Gelembung-gelembung pertanyaan itu terus mengimpitku. Ketidakadilan yang kurasakan rupanya dianggap sebagai sebuah kewajaran. Aku tak mau menjadi anak yang digadang-gadang sebagai bintang tapi pendidikannya justru menjauhkannya dari kebenaran. Dan kini, kucari makna pada sila kelima Pancasila: di manakah keadilan yang dijanjikan kepada seluruh rakyat Indonesia?