Hamida dan Hamido adalah saudara kembar yang tumbuh dari embrio tunggal di dalam satu rahim. Karena dipisahkan secara paksa, mereka menyusuri kota dalam lingkaran yang menggelapkan dalam sebuah harapan, hanya untuk menemukan saling kehilangan dan merasakan setiap waktu seakan-akan rasa itu baru pertama kali mereka rasakan. Perjalanan yang mereka tempuh sangat mengerikan dan benar-benar mengarah pada lingkaran korupsi dan brutalitas yang tidak putus-putusnya di kalangan pegawai pemerintah di negeri mereka. Pada suatu hari pakaian sekolah Hamida menjadi sempit. Hanya dengan bersusah payah ia dapat memasukkan tubuhnya ke dalam pakaian itu, terutama sekali dari arah depan, di atas perutnya. Melihat suatu kenyataan aneh yang belum pernah dilihat Hamida sebelumnya, mata ibunya terpaku melihat perutnya. Pandangan itu muram menakutkan yang menjadikan seluruh tubuhnya gemetar. Jari ibunya yang besar-besar itu mencengkam di sekitar tangan Hamida yang kurus itu. 'Buka pakaian sekolahmu!' Hamida patuh. Ia mengenakan gallabiyya dan bersandar ke dinding, sambil menemukan suatu tumpak cahaya mentari lalu duduk. Pada waktu senja, anak-anak laki-laki dan perempuan di lingkungannya akan berkumpul di sekelilingnya. Mereka akan berlarian ke jalan dan bermain petak umpat, atau main koboi-koboian, atau 'ular sudah pergi, pergi' atau 'sebutir garam', atau' Hamida mempunyai seorang bayi.' Bagaimana dengan Hamido? Apa yang terjadi pada dirinya? Dengan suatu ketepatan dan intensitas hipnotis, Nawal El Saadawi menelusuri konflik-konflik seksualitas, kelas dalam masyarakat, gender, dan kekerasan yang dilakukan oleh pihak militer, semua ini begitu mendalam sampai ke lubuk jiwa. Ditulis dalam bentuk sinematik pada realisme magis, The Circling Song adalah novelnya yang sangat orisinil.